"Kontroversial" UU 41/2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan?
"Kontroversial”
itulah kata yang paling tepat diberikan kepada UU No. 41/2014 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). UU ini, merupakan revisi atas UU No.
18/2009 tentang PKH hasil Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
137/PUU-VII/2009. Kontroversialnya terjadi sejak UU ini diproses dan disahkan
oleh DPR. Diduga bahwa pada pasal-pasal krusialnya tidak dilengkapi dengan
kajian akademik yang mendalam dan komprehensif. Hal tersebut didasarkan atas
pengamatan selama ini, bahwa dalam proses pembahasannya sama sekali tidak
melibatkan para pemangku kepentingan yang sama, dimana mereka turut merumuskan
UU No. 18/2009. Selain itu, waktu kelahirannya pun terjadi dipenghujung
berakhirnya masa jabatan anggota DPR dan pemerintahan SBY. Karena waktu
pengesehaannya terburu-buru, akibatnya UU ini tidak dilakukan pembahasan secara
intensif.
Impor Sapi Siap Potong
Dalam rangka
mengantisipasi puasa dan lebaran tahun ini, pemerintah melalui Menteri
Perdagangan ternyata telah mengeluarkan izin impor triwulan II bagi sapi
bakalan sebanyak 250.000 ekor. Untuk lebih mengantisipasi agar harga daging
sapi tidak melonjak tajam pemerintah telah menerbitkan pula izin impor sebanyak
29.000 ekor sapi siap potong (Detik finance, 18 Mei 2015). Kebijakan ini
sungguh diluar dugaan, karena pada kasus ini jelas-jelas pemerintah sebenarnya
telah melanggar UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan kesehatan hewan (PKH).
Dimana pada pasal 36B ayat 2, dinyatakan bahwa pemasukan ternak ke dalam negeri
harus merupakan bakalan, bukannya sapi siap potong. Seharusnya, pasal ini
bersifat pasal karet, yaitu yang bisa menerima berbagai kriteria sapi bagi
kepentingan pengembangan sapi potong dan pemenuhan kebutuhan konsumen di dalam
negeri. Kenyataan ini, merupakan masalah pertama yang dihadapi pemerintah
terhadap UU No. 41/2014 yang sangat kontroversial.
Maksimum sekuriti
Kontroversi
lainnya yang akan menjadi kendala bagi pembangunan peternakan sapi potong
terhadap UU ini, adalah mengenai konsiderannya yang ditujukan untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia, dengan upaya maksimum sekuriti terhadap pemasukan dan
pengeluaran ternak, hewan dan produk hewan dan upaya melakukan pencegahan
penyakit hewan. Namun, realitanya dalam pasal pasal pada batang tubuh yang
diubah dalam UU ini, malah justru sebaliknya yaitu menjadi minimum sekuriti.
Misalnya pasal 59 ayat 2 pada UU No. 18/2009 bahwa produk hewan yang dimasukan
ke Indonesia boleh dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah
memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan. Pasal ini sebenarnya
telah diubah oleh MK menjadi ‘berasal dari suatu negara’ bukan berasal dari
zona dalam suatu negara, tentunya dengan mempertimbangkan ‘maksimum securiti’.
Namun faktanya, dalam UU No. 41/2014 hal tersebut muncul kembali di Pasal 36C.
yaitu sebagai berikut: bahwa pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau
zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara
pemasukannya. Pasal ini jelas-jelas tidak memperhatikan keputusan judicial
review yang dilakukan oleh MK di tahun 2009 lalu. Walaupun dalam perubahan ini
terdapat perbedaan antara komoditi produk hewan dengan ternak ruminansia
indukan. Perbedaan komoditi pada UU No. 18/2009 dengan UU No. 41/2014 tidak
serta merta menyebabkan rendahnya resiko yang akan terjadi terhadap
berjangkitnya suatu penyakit hewan menular bagi ternak ruminansia.
Waktu Penggemukan Sapi
Kontroversi
berikutnya, mengenai perkembangan inovasi teknologi feedlot yang tertera pada
pasal 36B ayat 5 yaitu: bahwa setiap orang yang memasukkan bakalan dari luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan penggemukan di dalam
negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat)
bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan. Ayat ini jelas-jelas
bahwa pemerintah seolah tidak menghendaki usaha peternakan didalam negeri
berkembang secara layak. Bahkan akibat pasal ini, tentunya para pengusaha
penggemukan sapi potong akan mengalami kerugian. Hal ini disebabkan bahwa
kemajuan teknologi penggemukan sapi potong dapat dilakukan dalam waktu yang
lebih singkat dari empat bulan, katakanlah dua atau tiga bulan. Artinya,
putaran investasi yang ditanam akan memberikan dampak putaran finansial dan
ekonomi yang lebih luas lagi. Bukan sebaliknya, putaran modal menjadi lambat
dan tidak memberikan manfaat ekonomi bagi pembangunan ekonomi wilayah
perdesaan.
Judicial Review ulang
Berdasarkan
beberapa pasal yang sangat “kontroversial” tersebut, kiranya UU No.41 tentang
PKH layak dilakukan judicial review ulang oleh para pemangku kepentingan. Sebab
inti masalahnya adalah bahwa kebijakan zona base bisa diterapkan sepanjang
pemerintah melakukan tahapan yang sesuai dengan saran Tim Analisa Resiko
Independen (TARI) yang ditunjuk pemerintah di tahun 2008 lalu, sebagai berikut;
(1) perlu dilakukan analisis akademik silang terhadap resiko dan manfaat dari
zona base maupun country base. (2) adanya kesiapan sumberdaya manusia, sarana
dan prasarana serta sistem kesehatan hewan yang mampu mendukung program
mitigasinya. (3) Kelayakan ekonomi finansial ditinjau dari biaya transportasi,
loading dan unloading, karantina, pengawasan, dan lainnya. (4) Faktor keamanan
yaitu jaminan terhadap lalu lintas keluar masuk wilayah/trace ability secara
berkeberlanjutan, termasuk perangkat SPS dan ALOP (acceptable level of
protection) untuk penyakit mulut dan kuku (PMK) dan (5) Ketersediaan dana
tanggap darurat siap pakai, jika terjadi outbreak PMK, serta peningkatan
kemampuan surveilan dan pelimpahan wewenang surveilan PMK dari Pusvetma di
Surabaya ke laboratorium veteriner regional (BPPV/BB Vet) di seluruh Indonesia.
Kesemua saran dan tindakan tersebut, tentunya berpegang kepada konsep maksimum
sekuriti, terhadap kemungkinan peluang terjadinya outbreak penyakit hewan
menular bila negeri ini mengadopsi zona based. Faktanya sampai saat ini,
seluruh persyaratan yang diharuskan ada oleh tim TARI masih belum nampak secara
signifikan.
Post a Comment