Geliat Usaha Kambing Perah di Batu
Pengembangan usaha kambing perah sangat menjanjikan karena pasar susu kambing di Indonesia masih sangat terbuka lebar

Awalnya, niat Agus Kurniawan memelihara kambing PE (Peranakan Ettawa) adalah untuk berpartisipasi dalam kontes-kontes kambing yang diadakan oleh komunitas pecinta kambing. Wawan, sapaan akrabnya, bahkan pernah bertugas sebagai panitia, penyelenggara, juri, bahkan menjadikan kambingnya sebagai peserta kontes.

Lambat laun, ia menyadari bahwa memelihara kambing yang diarahkan untuk kontes tidak mampu memberikan penghasilan yang tetap. Sebab, pemasaran kambing kontes sangat tergantung dari berhasil tidaknya sang kambing merajai sebuah kontes. “Bagai sebuah adu tos-tosan, yang menang dia dihargai tinggi,  yang kalah harganya biasa-biasa saja,” ujar Wawan kepada TROBOS Livestock.
Ia melanjutkan kontes itu masalah hobi sehingga ukurannya tidak bisa pasti dan pemasukan yang didapatkan tidak bisa diprediksi. Pria asli Kota Batu ini di 2012 memutuskan untuk berhenti total dari arena kontes kambing dan berubah haluan menggarap usaha susu kambing PE miliknya.
Penambahan populasi di peternakan yang berada di daerah Bumiaji Kota Batu inipun dilakukan. Dari yang dulunya hanya 5 ekor, kini mencapai 200 ekor kambing hasil silangan kambing Jamnapari dengan kambing lokal Kaligesing.
Manfaatkan Limbah
Manajemen pemeliharaan kambing untuk kontes dan perah secara garis besar sama. Yang membedakan adalah merawat kambing kontes membutuhkan waktu-waktu tertentu untuk diberi perlakuan khusus seperti jam memandikan, pemberian jamu, dan pemberian konsentrat. “Itu harus dilakukan dengan maksimal karena yang dijual adalah keindahannya,” terangnya.
Sedangkan kambing perah yang ditujukan untuk diambil susunya, tidak serepot itu. Manajemen pemeliharaan standar dan yang penting nutrisinya cukup dan pemerahan dilakukan 2 kali dalam sehari.
Persoalan pakan tidak terlalu menjadi masalah baginya. Kota Batu yang merupakan gudangnya apel dia keruk potensinya. “Untuk pakan kambing memanfaatkan limbah-limbah industri pengolahan apel, rumput, serta konsentrat,” ujarnya menjelaskan.
Wawan mengkalkulasi, dengan formulasi pakan yang dibuat memanfaatkan limbah  yang ada, biaya pakan menjadi lebih rendah. “Biaya pakan per ekor per hari untuk kambing laktasi sekitar Rp 5 ribu, kambing kering Rp 3 ribu, dan kambing jantan serta cempe (anak kambing) Rp 2 ribu,” ungkapnya.

Pengolahan & Wisata Edukasi
Jika diambil rata-rata, pada masalaktasi, per ekor kambing PE bisa menghasilkan 1 liter susu per hari. Jumlah itu bisa menjadi 2 kali lipat jika kambing memasuki masa puncak laktasi.
Guna memberikan sentuhan nilai tambah, lajangkelahiran 1987 ini memasarkan produknya tidak hanya dalam bentuk susu segar, namun diolah menjadi berbagai varian untuk menarik pelanggan. “Kami olah menjadi susu pasteurisasi, yoghurt, kefir. Untuk produk turunannya, ada sabun susu, lulur, serta lotion,” terang Wawan.
Harga susu kambing pasteurisasi yang sudah dikemas dalam botol dibanderol Rp17 ribu per liter. Jika ditambahkan dengan perasa seperti cokelat dan vanilla menjadi Rp 20 ribu per liter. Sementara yoghurt dihargai Rp 35 ribu per liter dan kefir Rp 40 ribu per liter.
Pemasaran susu kambing perah dan olahan Wawan ini selain Malang Raya sudah mencapai Surabaya, Semarang,dan Jakarta. Bahkan baru-baru ini, pesanan pun sudah datang dari Bali.
Tidak sampai disitu, Wawan sukses menggandeng pihak penyedia jasa wisata yang ada di Kota Batu untuk mengarahkan wisatawan berkunjung kekandangnya. “Wisatawan bisa melihat kandang dan tatalaksana pemeliharaan kambing perah dan pulang membeli susunya,” urainya.
Ia melanjutkan, tanggapan wisatawan sangat bagus karena kegiatan ini merupakan gabungan antara wisata alam dan edukasi. Sedangkan untuk tarif per orang yang ingin berkunjung ke kandang miliknya hanya dipatok Rp 5 ribu.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi Juli 2013

No comments