Tangkap Peluang Pembibitan Sapi

Tangkap Peluang Pembibitan Sapi
Kian diperketatnnya kebijakan impor sapi, kebuituhan bakalan sapi lokal terus meningkat.Ini merupakan peluang untuk mengembangkan usaha pembibitan sapi
Masih belum tercapainnya swasembada daging sapi nasional, salahsatu faktor penyebabnya masalah usaha pembibitan sapi yang masih minim. Peternak yang rasional secara ekonomi akan menanamkan modalnya pada usaha yang bisa memberikan keuntungan paling tinggi. Demikian dikatakan Nanang ‘Purus Subendro, peternak sapi Lampung. “Risiko ekonomi pembibitan sapi lebih tinggi dibanding penggemukan,” ucapnyake[ada TROBOS Livestock.
Nanangmenjelaskan, pertama risiko untuk dapat membuat betina bunting itu sulit, persentasi keberhasilan bunting rendah sementara harga untuk mengawinkan tidak kurang dari Rp 50.000/ekor. Ke dua risiko abortus(kematian)semasa kebuntingan dan yang terakhir risiko kesulitan melahirkan. “Untuk menghasilkan 1 ekor pedet, dibutuhkan biaya tidak kurang dari 4 juta sedangkan harga pedet tidak jauh berbeda dari biaya tersebut,” tuturnya.
Melihat sejumlah tantangan tersebut tidak heranbidang pembibitan enggan dijalani karena nilai keuntungannya minim, lanjut Nanang. Pembibitan masih bisa dijalani oleh peternak tradisional karena biasanya biaya pakan dan tenaga kerja tidak dihitung.
Sementara untuk penggemukan dalam waktu 4 bulan,lanjutnya,peternak sudah mendapatkan untung. Idealnya, berat sapi bakalan awal penggemukan sebesar 300 kg, digemukkan selama 4 bulan sampai kenaikannya berkisar antara 108 – 120 kg. “Penggemuk sapi mendapat keuntungan murni dari kenaikan berat badan tersebut,” ia menggambarkan.
Sementara itu Jajang Jajang Rukmana selaku penanggung jawab bidang pembibitan Pesantren Saung Balong Al-Barokah berpendapat, pengembalian modal investasi pembibitan memang tidak secepat bila melakukan usaha penggemukkan, namun usaha pembibitan adalah usaha yang berkelanjutan. “Dengan usaha pembibitan, pelaku usaha tidak tergantung dari penyediaan sapi bakalan yang akan digemukkan, namun memiliki modal sapi yang akan terus menerus berproduksi,” ujar Jajang.
Jajang melanjutkan, sampai saat ini program pembibitan sapi yang dijalankan pihaknyabelum menghasilkan keuntungan, meski pun modal yang digunakan dinilainya sudah tertutupi. “Diperkirakan tahun ke-4 baru akan memperoleh untung,” ucapnya.
Swadaya Pembibitan
Berkaitan dengan kebijakan pemerintah mengenai kebijakan kuota impor,Nanang menilai, proporsi sapi lokal yang dipotong menjadi meningkat sehingga pengadaan bakalan sapi lokal menjadi sulit.Sambungnya, usaha pembibitan sebenarnya peluangnya masih besar tapi perlu campur tangan pemerintah.  “Sampai saat ini bantuan dari pemerintah tidak terlalu menolong. Peluang untungnya sedikit sekali untuk intensif maupun semi intensif,” kataNanang.
Ia berharap,pemerintah dapat terus menjaga gairah peternak untuk melakukan pembibitan. “Jika tidak dimulai dari sekarang, Indonesia tidak akan pernah mampu untuk berswasembada daging sapi,” tegas Nanang.
Jajangikut berpendapat, mengingatmulai banyaknya pembibitan sapi yang dilakukan secara swadaya(mandiri), pemerintah perlu memberikan insentif khusus di bidang tersebut. “Insentif itu bisa berupa bunga bank yang rendah, memberikan wilayah peternakan sapi tidak boleh diganggu sampai 30 tahun ke depan. Atau pemerintah menyewakan lahannya dengan harga yang tidak terlalu komersial,” saran Jajang.
Garap Pembibitan
Sekilas gambaran tentang usaha pembibitan sapi swadaya dapat dilihat dari usasa peternakan sapi yang dijalankan Pesantren Saung Balong Al-Barokah di Majalengka, Jawa Barat. Menurut  Jajang, sudah 3 tahu terakhir, pihaknya mengembangkan usaha pembibitan sapi. “Bila tidak ada orang yang melirik usaha pembibitan, kapan Jawa Barat bisa mandiri,” ungkap Jajang.
Posisinya saat ini, jelas Jajang, dari 80 ekor betina produktif yang telah diIB(Inseminasi Buatan), tidak kurang dari 40 ekor sapi sudah melahirkan. “Rata-rata betina dapat bunting setelah dilakukan IB sebanyak 3 kali suntik,” ucap Jajang.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi Juli 2013

No comments