Pupuk Organik Nilai Tambah Sawit-Sapi

Mendongkrak keuntungan bagi usaha sawit dengan menggunakan pupuk organik dari sapi, belum termasuk keuntungan dari hasil ternak
Adalah Samiran, petani sawit yang tinggal di Lubuk Dalam-Riau semula hanya berpikir untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan beternak sapi. Setelah itu, pikiran transmigran asal Jogjakarta ini berkembang untuk membuat pupuk organik agar biaya pupuk kimia berkurang.
Berbekal buku-buku dan tanya sana-sini, mulailah Samiran membuat kompos feses sapi. Setelah itu, mulailah – dengan ilmu “kira-kira”  - ia meramu pupuk cair organik berbahan urin sapi. Berbagai macam cara dicobanya, tapi belum berhasil juga. Hingga pada 2009 ia mengikuti pelatihan integrasi sawit-sapi dan pembuatan pupuk organik yang  di PTPN (PT Perkebunan Nusantara) V. “Salah satu materinya prinsip pembuatan pupuk cair ini disampaikan Prof Ali Agus konsultan integrasi sawit-sapi PTPN V,” ungkapnya.
Sawit Meningkat
Mengingat belum ada kajian ilmiah komparasi produktivitas sawit yang dipupuk dengan pupuk organik dengan pupuk kimia, Samiran memaparkan keunggulan pupuk organik cair yang diaplikasikan ke kebun sawitnya. “Produktivitas naik antara antara 20 – 25% bahkan bisa sampai 28% untuk tanaman yang sedang puncak produksi,” kata pemilik 28 ha kebun sawit ini. Selama 3 tahun memakai pupuk organik, Samiran mendapati produksi sawitnya mencapai 52 ton/petak (2 ha). Padahal sewaktu masih menggunakan pupuk kimia 100%, produksi hanya 41 ton/petak.
Meningkatnya produksi sawit ditandai dengan memanjangnya tandan, sehingga buah yang terbentuk menjadi semakin banyak. Selain itu, pelepah daun sawit pun menjadi lebih besar. Hal ini menguntungkan bagi integrasi sawit-sapi karena pelepah daun menjadi sumber pakan sapi, setelah melalui proses pencacahan dan penggilingan sehingga menjadi serabut halus. Sebagai catatan, setiap hari Samiran memberikan 3 pelepah daun sawit bagian ujung  (sekitar4 kg) untuk setiap ekor sapi.
Selama 3 tahun terakhir Samiran mengaku total memakai pupuk organik cair. Bahkan sudah setahun belakangan ia tak lagi memakai pupuk kimia. “Kalau pakai pupuk kimia, biaya pemupukan Rp 70 juta untuk 28 ha, setiap 6 bulan. Dengan pupuk organik hanya butuh Rp 20 juta saja, tanpa pupuk kimia sama sekali,” tandasnya.
Produksi Pupuk
Sementara itu, produksi pupuk cair meningkat dari 100 ribu liter pada 2011 menjadi hampir 120 ribu liter pada 2012. Dari produksi sebanyak itu, hingga Desember telah terjual 98.000 liter. Pupuk cair sebanyak itu cukup dipasarkan di 4 kecamatan. Saban bulan, 52 ekor sapi Bali milik Samiran mampu menyediakan 7.500 liter urin. “Masih kurang 2.000 – 2.500 liter, kami membeli Rp 1.000/literdari peternak lain,” terangnya.
Pintu Masuk Integrasi
Ditemui terpisah, Prof Ali Agus integrasi sawit-sapi menunjukkan perkembangan bagus pasca jatuhnya harga sawit pada 2007. “Awal 2009, bersama PTPN V dilakukan pelatihan pembuatan pupuk organik. Ternyata hal ini menarik perhatian petani sawit, karena dengan pintu masuk pupuk organik ini sawit yang untung duluan dan sapinya bisa menjadi alternatif penghasilan,” paparnya.
Menurutnya, Samiran telah melakukannya sehingga menginspirasi orang lain. “Contohnya KUD (Koperasi Unit Desa) Tunas Muda, Desa Teluk Merbau, Kecamatan Dayun – Riau. KUD beranggotakan 18 produsen pupuk organik ini telah beromzet 5.000 – 6.000 liter pupuk urin/bulan,” tutur Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada ini. Mereka mengikuti 2 kali pelatihan, pertama  di PTPN V pada 2010 dan kedua di Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM dengan fasilitas dari PTPN V pada 2011.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi Maret 2013

No comments